JAKARTA - Praktik pencampuran beras dengan varietas berkualitas rendah dengan kemasan premium marak dilakukan pelaku usaha. Beras hasil oplosan pun dijual mahal, padahal kualitasnya tidak sepenuhnya memenuhi standar.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, beras oplosan beredar bahkan sampai di rak supermarket dan minimarket, dikemas seolah-olah premium, tetapi kualitas dan kuantitasnya menipu.
Hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) dan Satgas Pangan Polri mengemukakan bahwa ada 212 merek beras yang terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu.
Beberapa merek tercatat menawarkan kemasan 5 kilogram (kg), padahal isinya hanya 4,5 kg.
Banyak di antaranya mengeklaim beras premium, padahal sebenarnya berkualitas biasa.
Berdasarkan hitungan sementara Kementerian Pertanian (Kementan), potensi kerugian konsumen mencapai Rp99 triliun dalam setahun. Jika praktik ini dilakukan dalam kurun waktu 5-10 tahun ke belakang, maka nilai kerugian jauh lebih bombastis.
Untuk negara, proyeksi kerugiannya masih dihitung Kementan, sekalipun penilaian atas kerugian negara umumnya menjadi wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sejumlah warga mengaku kecewa setelah mengetahui jika beras yang mereka konsumsi adalah beras oplosan.
Desi (34), warga Jakarta Timur, menyebut dirinya rutin membeli beras setiap minggu, bahkan kerap memilih beras dengan label premium demi memberikan yang terbaik bagi keluarganya.
“Saya kaget banget ya dengar berita ini. Soalnya saya beli beras kan tiap minggu, kadang pilih yang kemasan premium karena mikirnya pasti lebih bagus buat keluarga,” kata Desi saat dihubungi Kompas.com, dikutip Kamis (17/7/2024).
Namun, setelah mendengar kabar bahwa beras-beras premium diduga oplos dan berat kemasannya dikurangi, Desi merasa sangat dirugikan.
“Eh ternyata bisa jadi itu beras oplosan, dan beratnya pun dikurangi. Gila aja, kita udah bayar mahal, ternyata ditipu. Ini mah nyakitin rakyat kecil, apalagi yang pas-pasan kayak saya. Kenapa sih semua-muanya ditipu, pakai segala dioplos,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Aminah (58). Pedagang nasi di kawasan Bogor ini mengaku sangat dirugikan dengan kondisi tersebut.
Baginya, beras bukan sekadar kebutuhan pokok, tetapi juga barang dagangan yang menentukan kelangsungan hidupnya.
“Saya nih jualan buat nyambung hidup, modal pas-pasan. Kalau berasnya ternyata dikurangin beratnya atau kualitasnya nggak sesuai, ya jelas rugi dobel. Nggak cuma saya, semua rakyat kecil yang makan beras tiap hari juga jadi korban,” ucap Aminah.
Ia menambahkan, praktik curang seperti ini sangat menyakitkan bagi masyarakat kecil.
“Kita bayar mahal-mahal, tapi malah ditipu. Yang kaya mah mungkin nggak kerasa, tapi buat kita yang ngitung setiap rupiah, ini sangat merugikan. Harusnya produsen-produsen kayak gitu dihukum berat. Udah bukan bandel lagi, tapi zolim!” lanjut dia.
Warga lain bernama Tini (30) juga merasa kecewa karena ternyata beras juga dioplos, seperti bensin.
“Kecewa banget lah selain bensin, ternyata beras dioplos, kok bisa kepikiran sampai beras-beras aja dioplos,” kata Tini.
Tak menyangkanya lagi, lanjut Tini, beras-beras yang dioplos justru beredar di supermarket dan minimarket. (Kompas.com).
Komentar0