GUO6TUA8TUM8GpW6TfdiTfWiTi==

Menilik Rumah Belajar Merah Putih, Tempat Anak Kolong Jembatan Cilincing Melawan Buta Aksara

 



JAKARTA - Tawa riang anak-anak menggema di kolong jembatan Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara. 


Mereka, anak-anak berusia antara lima hingga 13 tahun, berlarian kecil dengan mengenakan pakaian muslim sederhana.


Dengan wajah sumringah, mereka menuju sebuah bangunan dua lantai yang berdiri di sisi kiri kolong jalan tol, dengan plang bertuliskan “Rumah Belajar Merah Putih”.


Dengan penuh antusias, mereka melepas sandal, masuk ke ruang belajar yang berukuran tak lebih dari 4x5 meter.


Sayup-sayup terdengar suara seorang anak yang tengah menghafalkan perkalian. 


“Satu kali satu sama dengan satu, dua kali satu sama dengan dua,” ucap salah satu siswa.


Lantai bawah Rumah Belajar Merah Putih memang disulap menjadi ruang belajar sederhana yang menyerupai suasana kelas sekolah. 


Sebuah papan tulis berdiri di bagian depan ruangan, digunakan oleh para pengajar untuk memberikan pelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) hingga pelajaran mengaji.


Meski serba terbatas, suasana di dalam ruangan terasa hangat dan hidup. Dinding-dinding dicat dengan warna-warna cerah, dipenuhi coretan hingga gambar hasil karya anak-anak. 


Layaknya ruang kelas di sekolah formal, kertas tempel berisi tabel perkalian dipasang untuk membantu anak-anak menghafal. 


Peralatan belajar berupa pensil, buku gambar, kertas origami, hingga alat tulis lainnya tersedia seadanya. Naik ke lantai dua, suasana terasa lebih khusyuk.


Anak-anak duduk bersila, belajar melafalkan surat-surat pendek dari Al Quran. Seorang pengajar dengan lembut membimbing dan membenarkan setiap tajwid yang keliru. 


Desi Purwatuning, perempuan paruh baya, berdiri di balik semua ini. Ia adalah pendiri sekaligus penggerak Rumah Belajar Merah Putih sejak 2006. Tempat ini, kata Desi, hadir untuk mereka yang tak bisa mendapatkan pendidikan formal.


“Kalau dilihat sebagian besar anak-anak di wilayah ini (kolong jembatan) tidak memiliki akta kelahiran. Itulah kenapa mereka susah mendapatkan pendidikan, bayangkan urusan akta kelahiran saja mereka tidak punya,” ucap 


Desi Purwatuning saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (6/8/2025). Desi menyebutkan, banyak dari mereka datang dengan beragam persoalan dunia yang pelik. 


Ada anak yang tidak bisa sekolah karena tidak memiliki akta kelahiran. Ada yang putus sekolah karena ketiadaan biaya.


Tak sedikit pula yang sejak kecil tidak merasakan kehadiran orangtua di hidupnya. 


“Ada yang orangtuanya dipenjara karena narkoba atau kekerasan. Ada yang enggak mampu bayar sekolah. Ada juga yang memang belum pernah masuk sekolah karena sulit secara administratif,” jelasnya 


Fenomena ini menggambarkan bagaimana hak dasar anak, yakni memperoleh pendidikan yang layak dan hidup dalam rasa aman seolah dirampas.


Bayang-bayang buta aksara perlahan menjelma menjadi kenyataan.


“Di sini, banyak yang tidak bisa membaca. Waktu awal saya mendirikan Rumah Merah Putih ada anak yang membaca buku, tetapi bukunya terbalik,” kata dia. 


Desi tak bisa tinggal diam. Ia tidak ingin kebodohan dan kemiskinan menjadi warisan turun-temurun bagi anak-anak di wilayah pesisir ini. 


Ia percaya bahwa pendidikan bisa memutus lingkaran setan yang selama ini membelenggu masyarakat marjinal Cilincing. Berangkat dari keyakinan itulah, ia mulai merintis Rumah Belajar Merah Putih pada 2006.


Namun, mendirikan ruang belajar di kawasan yang dikenal sebagai “zona merah” rawan narkoba, kekerasan, dan prostitusi, bukan perkara mudah. 


Ia sempat kesulitan mencari tempat. Tak ada yang bersedia menyewakan ruangan untuk kegiatan belajar-mengajar anak-anak. “Awalnya saya tanya, apakah ada bangunan kosong? 


Dijawab langsung, ‘enggak ada’,” kata Desi. Desi mengingat betul bagaimana ia dan murid-muridnya harus belajar di bawah meja biliar.


Tak jarang ia pernah diusir, dipersulit, bahkan dimarahi oleh orangtua murid. Namun, ia tak menyerah. 


“Yang penting, anak-anak bisa belajar, bermain, dan mendapatkan akta kelahiran. Arti merah yang berani dan putih yang suci jadi tanda kalau yayasan ini harus diperjuangkan,” tegasnya. 


Rumah Belajar Merah Putih bukan sekadar tempat belajar calistung. Tempat ini juga menjadi pelindung bagi anak-anak dari berbagai ancaman luar. 


Desi bahkan pernah menangani kasus kekerasan seksual terhadap muridnya dan membawanya ke jalur hukum. Pelakunya adalah teman dekat ayah korban.


“Pelakunya ditangkap dan dipenjara,” tegasnya. Peristiwa tersebut membuat ia semakin sadar bahwa anak-anak harus dijaga, bahkan setelah kelas usai. 


“Maka dari itu saya kembali membuka Rumah Merah Putih, khususnya kegiatan ngaji di jam-jam rawan. Lebih baik anak-anak berada di sini daripada di luar sana,” tuturnya. 


Banyak dari anak-anak di kolong jembatan sebenarnya memiliki potensi.


Namun, lingkungan dan keterbatasan membuat mereka seolah tenggelam. Desi melihat sendiri transformasi siswa yang bisa berkembang di tengah keterbatasan jika diberi ruang dan perhatian. 


“Ada satu anak, dia dahulunya sering diberikan obat batuk jadi tampilannya seperti orang teler dan ngomong meracau. Tapi sekarang, dia sudah bisa membaca, menulis, sudah pintar,” kata Desi. 


Namun sampai saat ini, kehadiran negara masih terasa jauh. Anak-anak di bawah kolong jembatan ini belum sepenuhnya disentuh oleh sistem.


Mereka yang tak memiliki akta kelahiran, hidup tanpa orangtua, dan tak pernah duduk di bangku sekolah formal masih terus menunggu. Bukan sekadar menunggu bantuan, tapi pengakuan. 


Bahwa mereka ada, mereka berhak, mereka juga bagian dari masa depan bangsa. 


Desi tak menuntut banyak. Ia tak meminta bantuan untuk dirinya atau lembaga yang ia kelola. 


Yang ia harapkan hanya satu, negara hadir, mulai dari yang paling dasar membantu anak-anak mendapatkan identitas hukum agar bisa mengakses pendidikan seperti anak-anak lainnya.


“Jangan bantu saya, bantu anak-anak ini. Bantu supaya mereka punya akta kelahiran, bisa sekolah seperti anak-anak lain,” ujar Desi. (Detik.com). 

Komentar0

Type above and press Enter to search.