JAKARTA – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) bersama Koalisi Rapat Dengar Pendapat Warga (RDPW) menggelar aksi di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Senin (6/10/2025).
Dalam aksi yang dikemas sebagai forum “Rapat Dengar Pendapat Warga”, BEM UI mengundang anggota DPR RI untuk berdialog langsung dengan masyarakat.
Namun, hingga aksi selesai menjelang malam, tak satu pun wakil rakyat hadir memenuhi undangan tersebut.
Ketua BEM UI 2025, Atan Zayyid Sulthan, menyebut aksi ini sebagai upaya untuk “mengembalikan rapat DPR kepada rakyat”.
Ia menilai, absennya para anggota dewan mencerminkan lemahnya komitmen wakil rakyat dalam mendengarkan aspirasi publik.
“Demokrasi seharusnya tidak terhalang birokrasi atau jadwal institusi. Bahkan di masa reses pun mereka tetap seharusnya mau berdialog dengan masyarakat,” ujar Atan di lokasi aksi.
Aksi ini juga menjadi momentum evaluasi terhadap satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Menurut BEM UI, banyak janji reformasi yang belum tampak hasil konkretnya, mulai dari pembenahan kepolisian, lembaga legislatif, hingga partai politik.
Aksi untuk Rakyat
Rapat Dengar Pendapat Warga (RDPW) yang digagas BEM UI tampil berbeda dari demonstrasi konvensional.
Alih-alih penuh orasi dan ketegangan, aksi ini dikemas seperti forum terbuka dengan suasana santai tapi sarat makna.
Peserta aksi duduk lesehan di atas alas piknik di depan gerbang utama DPR RI.
Mereka membaca buku, menulis poster, dan berdiskusi seputar demokrasi dan kebebasan berekspresi.
Beberapa titik di lokasi aksi juga dipenuhi lapak literasi, bazar UMKM, serta kegiatan kreatif seperti “lapak kutek” dan permainan pancingan mainan.
Di tengah suasana tersebut, terbentang spanduk besar bertuliskan “Rapat Dengar Pendapat Warga”.
“Kami ingin menegaskan bahwa menyampaikan pendapat tidak harus selalu dengan orasi keras. Bisa dengan membaca, berdiskusi, bahkan piknik bersama,” ujar Atan.
Selain mahasiswa UI, aksi ini diikuti pula oleh mahasiswa dari sejumlah universitas lain, aktivis lingkungan, serta perwakilan buruh dan masyarakat umum.
“Hari ini saya tidak memakai almamater. Saya datang sebagai rakyat Indonesia,” tutur dia.
Teatrikal “Kursi Dewan”
Menjelang sore, suasana berubah menjadi lebih teatrikal. Massa aksi menggelar pertunjukan simbolik bertajuk “Kursi Dewan”.
Di tengah lapangan depan pagar DPR, beberapa kursi plastik putih dijejer menyerupai kursi sidang parlemen.
Tiga mahasiswa duduk di kursi itu, dua di antaranya menutup telinga, melambangkan sikap “tuli” wakil rakyat terhadap suara masyarakat.
Seorang mahasiswa lain berdiri di depan mereka, berorasi dengan lantang.
“Inilah contoh dewan-dewan kita, menutup telinga dari rakyatnya,” seru salah satu peserta aksi.
Teatrikal itu diikuti sorakan massa dan lemparan botol air mineral ke arah simbolis “kursi dewan”.
Di belakang mereka, sebuah mobil komando bertuliskan “Suara Rakyat” menjadi pusat kegiatan aksi. Aksi ini menggambarkan kekecewaan publik terhadap DPR yang tidak hadir dalam forum undangan terbuka.
“Kami sudah memfasilitasi mereka untuk berdialog di sini, tapi tetap tak ada yang datang,” kata Atan.
Simbolisme teatrikal ini juga menegaskan pesan utama aksi RDPW bahwa lembaga perwakilan seharusnya tidak kehilangan kedekatan dengan rakyatnya.
Tiga Tuntutan Utama
Dalam forum terbuka itu, BEM UI dan Koalisi RDPW membacakan tiga tuntutan utama kepada pemerintah dan lembaga legislatif. Pertama, mereka mengecam tindakan represif aparat terhadap warga dan aktivis dalam beberapa bulan terakhir.
“Aparat seharusnya bekerja dengan menjunjung nilai kemanusiaan, bukan justru melakukan kekerasan terhadap rakyat,” ujar Atan.
Kedua, mereka menuntut pembebasan aktivis yang ditahan karena menyuarakan pendapat, seperti Del Pedro dan Marahain. “Banyak orang ditahan hanya karena berpendapat. Ini pelemahan demokrasi,” kata Atan.
Ketiga, BEM UI menekan seluruh lembaga negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk benar-benar mendengar aspirasi masyarakat, bukan sekadar memberi respons simbolis.
“Masih banyak hal yang belum dijawab pemerintah. Kami menuntut transparansi dan keberpihakan nyata,” kata Atan.
Ia menegaskan, aksi RDPW bukan puncak gerakan, melainkan awal dari rangkaian evaluasi publik terhadap satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran.
“Ini baru permulaan. Kami akan terus bersuara sepanjang bulan Oktober,” ujarnya.
Menjelang malam, sebagian massa menyalakan lilin di depan gerbang DPR, menutup aksi dengan doa bersama bagi demokrasi Indonesia.
Cahaya lilin berkelip di antara poster bertuliskan “Rakyat Tak Akan Diam” menjadi penanda akhir dari rapat rakyat yang tak dihadiri para wakilnya. (sumber : kompas.com).
Komentar0