JAKARTA - Kasus perintangan penyidikan yang menyeret Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar menuai polemik di tengah publik, batas antara pelanggaran etik dan pelanggaran hukum dipertanyakan karena Tian ditersangkakan karena berita yang dianggap menyudutkan Kejaksaan Agung.
Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan menyatakan, proses hukum terhadap Tian menyalahi prosedur karena persoalan mengenai karya-karya jurnalistik semestinya menjadi kewenangan Dewan Pers.
"Kasus TB (Tian Bahtiar) terkait dengan karya-karya jurnalis. Yang bisa menentukan bahwa karya-karya jurnalis ini adalah negatif, bermasalah, ada konspirasi, ada fitnah, buruk, itu adalah wilayahnya Dewan Pers," kata Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan.
Ia mengingatkan, Undang-Undang tentang Pers mengatur bahwa setiap persoalan atau sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib lebih dulu diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung menggunakan proses pidana.
Selain itu, ada nota kesepahaman antara kepolisian dengan Dewan Pers yang mengatur bahwa setiap karya jurnalistik harus diserahkan kepada Dewan Pers untuk dinilai layak atau tidak diproses secara hukum.
"Jadi, ini adalah kesalahan prosedur yang dilakukan," kata Herik. Dalam perkara ini, Tian disangka merintangi penyidikan perkara-perkara yang diusut Kejagung dengan membangun opini publik lewat berita-berita negatif yang menyudutkan Kejagung.
Menurut Kejagung, berita-berita itu dibuat oleh Tian atas permintaan advokat Marcella Santoso dan Junaedi Saibih dengan bayaran Rp 478.500.000 yang masuk ke kantong pribadi Tian.
Modusnya, Marcella dan Junaedi menggelar seminar, talkshow, hingga demonstrasi dengan narasi negatif tekait penanganan perkara oleh Kejagung, lalu diliput dan dipublikasikan oleh Tian.
Herik pun mempertanyakan alasan Kejagung tersebut karena menurutnya menyampaikan informasi yang kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang diatur undan-undang. Herik menegaskan, pihaknya mendukung pengusutan kasus perintangan penyidikan ini, tetapi Kejagung perlu menjelaskan alasan penetapan tersangka tersebut.
"Jika penetapan tersangka terhadap insan pers semata-mata karena pemberitaan yang dianggap 'menghalangi penyidikan', maka kami menilai perlu ada penjelasan dan klarifikasi lebih lanjut dari Kejaksaan, serta koordinasi yang semestinya dengan Dewan Pers," kata dia.
IJTI khawatir langkah Kejagung ini dapat menjadi preseden bagi aparat penegak hukum lain untuk menjerat jurnalis yang kritis terhadap kekuasaan.
"Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers," kata Herik.
Usut Pelanggaran Etik
Dewan Pers pun tidak tinggal diam dan langsung menemui Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada Selasa siang kemarin.
Seusai pertemuan, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan pihaknnya menghormati proses hukum yang dikerjakan oleh Kejagung, sedangkan Dewan Pers akan mengusut perkara etik atas perbuatan Tian.
“Dewan Pers tentu tidak ingin menjadi lembaga yang cawe-cawe terhadap proses hukum. Akan tetapi, terkait dengan pemberitaan, untuk menilai apakah sebuah karya pemberitaan itu masuk kategori karya jurnalistik atau bukan, ini adalah kewenangan etik dan yang melakukan penilaian adalah Dewan Pers,” kata Ninik.
Ninik mengatakan, Dewan Pers akan mengumpulkan berita-berita yang dibuat Tian untuk dicek apakah memenuhi kaidah jurnalistik atau tidak.
“Berita-berita itulah yang nanti akan kami nilai apakah secara substansial atau secara prosedural itu menggunakan parameter kode etik jurnalistik atau bukan,” kata Ninik.
"Apakah ada pelanggaran terhadap kode etik pasal 3, misalnya cover both sides atau tidak ada proses uji akurasi dan lain-lain,” ujar dia menjelaskan.
Selain itu, Dewan Pers juga akan menilai perilaku Tian sebagai jurnalis yang profesional, termasuk dugaan transaksi antara Tian dan para advokat untuk memuat berita pesanan.
Ninik mengingatkan bahwa seorang jurnalis semestinya tidak meminta uang dan suap. "Apakah ada tindakan-tindakan yang melanggar kode etik sebagai wartawan, di dalam menjalankan tugasnya, dalam menjalankan profesionalisme kerjanya, karena pers itu memerlukan dua hal yang harus berjalan seiring,” kata Ninik.
Pemufakatan Jahat
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengeklaim, Tian ditetapkan sebagai tersangka karena ada permufakatan jahat untuk merusak citra Kejagung yang berimplikasi pada penanganan perkara.
Harli menyatakan, membuat berita adalah sesuatu yang mulia, termasuk berita dengan framing negatif karena dapat menjadi kritik, tetapi ia menekankan bahwa pemufakatan jahat untuk merusak citra kejaksaan tak dapat dibenarkan.
“Bukan soal pemberitaan. Pemberitaan itu mulia. Mau negatif pun artinya sebagai koreksi," kata Harli.
"Tapi membuat menciptakan pemufakatan jahat, seolah kejaksaan ini enggak ada benarnya,” ujar dia.
Menurut Harli, pembingkaian berita yang dilakukan Tian tidak hanya mengaburkan fakta, tetapi juga sengaja memengaruhi opini publik dan bahkan hakim dalam proses peradilan.
Harli menyebut pola ini sebagai bagian dari strategi terencana untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap Kejaksaan dan sistem hukum.
“Kita di-framing, peradilan di-prank. Mereka membuat seolah-olah Kejaksaan ini tidak ada benarnya, bahkan sampai memanfaatkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) agar putusannya bisa digunakan sebagai dasar pertimbangan lain,” kata Harli.
Harli juga menegaskan bahwa Tian dijadikan tersangka karena perbuatannya secara personal, bukan atas nama media tempatnya bekerja. "Perbuatan yang dipersangkakan kepada yang bersangkutan itu adalah perbuatan personal, yang tidak terkait dengan media. Itu tegas," ujar dia. (kompas.com).
Komentar0